Tuesday, May 8, 2012
proses pembuatan kaleng
Proses Pembuatan Kaleng
2.3.1 Pembuatan Kaleng Plat
Salah satu plat kaleng yang banyak digunakan adalah plat timah. Plat timah (tin plate) adalah bahan yang digunakan untuk membuat kemasan kaleng, terdiri dari lembaran baja dengan pelapis timah. Plat timah ini berupa lembaran atau gulungan baja berkarbon rendah dengan ketebalan 0.15-0.5 mm dan kandungan timah putih berkisar antara 1.0-1.25% dari berat kaleng. Digunakan untuk produk yang mengalami sterilisasi.
Wadah kaleng pada awalnya terbuat dari plat timah (tin plate) yang terdiri dari: lembaran dasar baja dilapisi timah putih (Sn) dengan cara pencelupan dalam timah cair panas (hot dipping) atau dengan elektrolisa. Pelapisan kaleng dengan cara hot dipped merupakan cara yang lama dimana lembaran baja dicelupkan ke dalam cairan timah panas, sehingga diperoleh lapisan timah yang terlalu tebal dan tidak menarik.
Pelapisan dengan cara elektrolisa adalah cara yang lebih modern yaitu pelapisan dengan menggunakan listrik galvanis sehingga dihasilkan lapisan timah yang lebih tipis dan rata.
Pembuatan kaleng plat timah secara tradisional dilakukan dengan memukul besi hingga gepeng dan tipis kemudian direndam dalam larutan asam hasil fermentasi, sehingga prosesnya disebut dengan pickling.
Pada pembuatan kaleng plat timah secara mekanis, pengasaman dilakukan dengan menggunakan asam sulfat, sedangkan proses pelembaran dengan menggunakan tekanan tinggi. Lembaran plat timah ini dapat dibuat menjadi kaleng yang berbentuk hollow (berlubang), atau flat can yaitu kaleng yang digepengkan baru kemudian dibentuk kembali.
2.3.2. Coating (Lapisan Enamel)
Untuk mencegah terjadinya kontak langsung antara kaleng pengemas dengan bahan pangan yang dikemas, maka kaleng plat timah harus diberi pelapis yang disebut dengan enamel. Interaksi antara bahan pangan dengan kemasan ini dapat menimbulkan korosi yang menghasilkan warna serta flavor yang tidak diinginkan, misalnya :
Terbentuknya warna hitam yang disebabkan oleh reaksi antara besi atau timah dengan sulfida pada makanan berasam rendah (berprotein tinggi). Pemucatan pigmen merah dari sayuran/buah-buahan seperti bit atau anggur karena reaksi dengan baja, timah atau aluminium.
Untuk mencegah terjadinya korosi ini maka kaleng diberi lapisan enamel. Jenis-jenis lapisan enamel yang digunakan adalah :
Epoksi-fenolik, merupakan pelapis yang banyak digunakan, bersifat tahan asam serta mempunyai resistensi dan fleksibilitas terhadap panas yang baik. Digunakan untuk pengalengan ikan, daging, buah, pasta dan produk sayuran. Pada pelapisan dengan epoksi fenolik juga dapat ditambahkan zink oksida atau logam aluminium bubuk untuk mencegah sulphur staining pada produk daging, ikan dan sayuran. komponen Vinil, yang mempunyai daya adhesi dan fleksibilitas tinggi, tahan terhadap asam dan basa, tapi tidak tahan terhadap suhu tinggi pada proses sterilisasi. Digunakan untuk produk bir, jus buah dan minuman berkarbonasi.
Phenolic lacquers, merupakan pelapis yang tahan asam dan komponen sulfida, digunakan untuk kaleng kemasan pada produk daging, ikan, buah, sop dan sayuran.
Butadiene lacquers, dapat mencegah kehilangan warna dan mempunyai resistensi terhadap panas yang tinggi. Digunakan untuk bir dan minuman ringan.
Acrylic lacquers, merupakan pelapis yang berwarna putih, digunakan sebagai pelapis internal dan eksternal pada produk buah. Pelapis ini lebih mahal dibanding pelapis lainnya dan dapat menimbulkan masalah pada beberapa produk.
Epoxy amine lacquers, adalah pelapis yang mempunyai daya adhesi yang baik, tahan terhadap panas dan abrasi, fleksibel dan tidak menimbulkan off-flavor, tetapi harganya mahal. Digunakan untuk bir, minuman ringan, produk hasil ternak, ikan dan daging.
Alkyd lacquers, adalah pelapis yang murah dan digunakan sebagai pelapis luar, tidak digunakan sebagai pelapis dalam karena dapat menimbulkan masalah off- flavor.
Oleoresinous lacquers, digunakan untuk berbagai tujuan, harganya murah, pelapis dengan warna keemasan. Digunakan untuk bir, minuman sari buah dan sayuran. Pelapis ini dapat digabung dengan zink oksida (C’enamel) yang digunakan untuk kacang-kacangan, sayur, sop, daging dan bahan pangan lain yang mengandung sulfur.
2.3.3 Pembuatan Kemasan Kaleng dari Tin Plate
Secara umum proses pembuatan kaleng terdiri dari printing/coating,slitting/shearing, pressing dan assembly.
Printing dilakukan dengan tujuan untuk pembuatan: dekorasi dan melindungi kaleng dari karat atau untuk mencegah reaksi antara tinplate dengan bahan yang dikemas.
Slitting/Shearing adalah proses memotong tinplate menjadi body blank atau strip yang digunakan untuk pembuatan komponen-komponen kaleng sesuai kebutuhan.
Pressing adalah proses pembuatan komponen-komponen kaleng seperti tutup atas/bawah atau body kaleng pada two pieces. Jumlah proses pembuatan komponen tergantung dari bentuk kaleng yang akan dibuat. Pada pembuatan tutup latex sebagai bahan pengisi sambungan body dengan tutup membuat kaleng kedap udara.
Assembly adalah proses menyatukan badan dan tutup kaleng dengan menggunakan mesin-mesin soudronic, soldering atau mesin lain. Pembuatan kemasan kaleng dilakukan dengan menyambung lembaran plat timah hingga membentuk kaleng.
Proses penyambungan dilakukan dengan cara soldering (patri), cementing dan welding.
Soldering adalah cara perekatan dengan panas pada metal solid (tin plate) dengan metalic boundary agent dengan menggunakan fluks pada suhu 45oC. Cementing adalah perekatan dengan menggunakan bahan perekat berupa poliamida dan polyester. Teknik cementing tidak tahan sterilisasi dan biasanya digunakan untuk kaleng–kaleng minyak goreng.
Pembuatan Kemasan kaleng Secara Konvensional
a. Pembuatan Kaleng Tiga Lembar (Three-piece-cans)
Kaleng tiga lembar (Three- piece-cans) adalah kaleng yang mempunyai satu lingkaran dan dua tutup. Bahan baku kaleng tiga lembar ini adalah plat timah (TP) atau baja bebas timah (TFS). Urutan pembuatan kemasan kaleng dari plat timah secara konvensional adalah sebagai berikut:
1. Pemberian lapisan enamel pada lembar plat timah
2. Pencetakan desain grafis
3. Pemotongan lembaran plat timah menjadi body blank yang disebut proses slitting
4. Pembentukan badan kaleng (body making)
5. Pembentukan leher kaleng (necking) untuk beberapa jenis kaleng
6. Pembentukan body hood (flanging) untuk semua bentuk kaleng.
7. Pembersihan permukaan dalam kaleng dengan menggunakan sikat dan hembusan udara.
8. Pelapisan enamel kedua (enamel ganda), yaitu untuk kaleng kemasan minuman berkarbonasi. Proses pelapisan enamel kedua ini dilakukan dengan cara pengabutan bahan pelapis (sprayed coating).
9. Pemasangan tutup kaleng dengan mesin seamer.
Saat ini pembuatan kaleng plat timah sudah lebih modern dimana kaleng dibuat di pabrik kaleng sedangkan penutupan dilakukan di pabrik pengalengan makanan.
b. Pembuatan kaleng Dua Lembar (Two piece-cans)
Kaleng dua lembar adalah kaleng yang dibuat dari bahan baku plat timah, alumunium atau lakur (alloy). Pembuatan kaleng dua lembar dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu proses draw-and-wall-iron (DWI) dan proses draw-and-redraw (DRD).
Proses DWI menghasilkan kaleng dengan dinding yang tipis dan digunakan untuk memproduksi kaleng aluminium untuk minuman berkarbonasi dimana bahan pengemas mendapat tekanan setelah pengisian. Kaleng DRD mempunyai dinding yang lebih tebal dan dapat digunakan untuk mengemas bahan pangan yang disterilisasi dimana diperlukan adanya ruang vakum (head-space) pada kaleng selama pendinginan.
a) Kaleng DWI (Draw and Wall Iron)
Urutan proses pembuatan kaleng DWI , dijelaskan sebagai berikut :
1. Bahan pembuat kaleng adalah plat timah dan aluminium dengan ketebalan masing-masing 0.3 dan 0.42 mm.
2. Sekeliling lembaran ditekan ke dalam berbentuk mangkuk atau lekukan untuk memperoleh lekukan yang dangkal.
3. Lekukan dilewatkan berturut-turut pada lingkaran logam (annular rings) untuk mengurangi ketebalan dinding lekukan sampai kira-kira 1/3 dari ketebalan awal dan tingginya tiga kali tinggi semula. Proses ini disebut dengan Wall Ironed.
4. Setelah bentuk dasar terbentuk, maka kaleng dipotong sesuai dengan ukuran yang diinginkan.
5. Penutupan dengan cara double seaming setelah pengisian.
Sistem pelapisan bagian dalam dilakukan dengan cara spray dan oven. Jenis enamel yang digunakan tergantung dari bahan pembuat kaleng dan produk yang akan dikemas, dan biasanya berupa epoksi fenolik, epoksiamin dan senyawa-senyawa vinil.
Modifikasi dari proses DWI dapat dilakukan dengan cara :
• Memperkecil ukuran diameter dari leher kaleng yang dapat memperbaiki penampilan dan kekuatan kaleng untuk ditumpuk, serta menghemat penggunaan logam.
• Ring-pull-tabs atau full-aperture untuk memudahkan membuka kaleng. Disain cetakan dengan menggunakan komputer dan penggunaan tinta yang tahan terhadap abrasi, yang memungkinkan badan kaleng dicetak sebelum dibentuk. Tinta kemudian ditarik dengan logam selama proses DWI untuk menghasilkam disain yang diinginkan pada produk akhir.
b) Kaleng DRD (Draw and Re-Draw)
Proses DRD pada prinsipnya sama dengan DWI, dan perbedaannya hanya terletak pada proses ironing, dimana pada DWI proses ironing bertujuan untuk mengurangi ketebalan dari kaleng, sedangkan pada proses DWI tidak terdapat proses ironing sehingga dihasilkan kaleng yang lebih tebal. Bahan pembuat kaleng DRD adalah plat timah dengan ketebalan 0.2 mm.
Keuntungan dari kaleng dua lembar adalah mempunyai integritas yang besar, lapisan penutup yang lebih seragam, menghemat penggunaan logam dan mempunyai bentuk yang lebih menarik bagi konsumen, dibandingkan dengan sistem solder maupun penyambungan pada kaleng lembar tiga (TPC). Hal ini disebabkan karena :
1. Lembar ganda hanya mempunyai satu sambungan double seam sehingga mudah dibentuk dan dikontrol, dibandingkan TPC dengan sambungan pada sisi badan dan double seam yang kompleks.
2. Lapisan pelindung bagian dalam tidak perlu melindungi sambungan yang mudah korosi an kontak dengan produk sebagaimana pada kaleng TPC.
3. Tidak diperlukan adanya penyolderan sehingga bahan dapat dihemat.
4. Menyediakan tempat yang lebih luas karena tidak terdapat sambungan sehingga dapat dicetak (diprinting) lebih indah dan lebih lengkap misalnya untuk pelabelan pada produk.
Fungsi kaleng sebagai kemasan
Fungsi Kaleng Sebagai Kemasan
Secara umum fungsi pengemasan pada bahan pangan adalah :
1. Mewadahi produk selama distribusi dari produsen hingga kekonsumen,
agar produk tidak tercecer, terutama untuk cairan, pasta atau butiran.
2. Melindungi dan mengawetkan produk,
seperti melindungi dari sinar ultraviolet, panas,kelembaban udara, oksigen, benturan, kontaminasi dari kotoran dan mikroba yang dapatmerusak dan menurunkan mutu produk.
3. Sebagai identitas produk,
dalam hal ini kemasan dapat digunakan sebagai alat komunikasi daninformasi kepada konsumen melalui label yang terdapat pada kemasan.
4. Meningkatkan efisiensi,
misalnya : memudahkan penghitungan (satu kemasan berisi 10, 1lusin, 1 gross dan sebagainya), memudahkan pengiriman dan penyimpanan. Hal ini penting dalam dunia perdagangan..
5. Melindungi pengaruh buruk dari luar, Melindungi pengaruh buruk dari produk di dalamnya,
misalnya jika produk yang dikemas berupa produk yang berbau tajam, atau produk berbahaya seperti air keras, gas beracun dan produk yang dapat menularkan warna, maka dengan mengemas produk ini dapat melindungi produk-produk lain di sekitarnya.
6. Memperluas pemakaian dan pemasaran produk,
misalnya penjualan minuman soda mengalami peningkatan sebagai akibat dari penggunaan kemasan kaleng.
7. Menambah daya tarik calon pembeli
8. Sarana informasi dan iklan
9. Memberi kenyamanan bagi pemakai.
Fungsi ke-6, 7 dan 8 merupakan fungsi tambahan dari kemasan, akan tetapi dengan semakin meningkatnya persaingan dalam industri pangan, fungsi tambahan ini justru lebih ditonjolkan
Wednesday, May 2, 2012
ANALISIS KUALITATIF TES DAN BUTIR SOAL
Analisis kualitas tes merupakan suatu tahap yang ditempuh untuk mengetahui derajat kualitas suatu tes, baik tes secara, keseluruhan maupun butir soal yang menjadi bagian dari tes tersebut. Dalam penilaian hasil belajar, tes diharapkan dapat menggambarkan sampel perilaku dan menghasilkan nilai yang objektif serta akurat. Jika tes yang digunakan guru kurang baik, maka hasil yang diperoleh pun tentunya kurang baik. Hal ini dapat merugikan peserta didik itu sendiri. Artinya, hasil yang diperoleh peserta didik menjadi tidak objektif dan tidak adil. Oleh sebab itu, tes yang digunakan guru harus memiliki kualitas yang lebih baik dilihat dari berbagai segi. Tes hendaknya disusun sesuai dengan prinsip dan prosedur penyusunan tes. Setelah digunakan perlu diketahui apakah tes tersebut berkualitas baik atau kurang baik. Untuk mengetahui apakah suatu tes yang digunakan termasuk baik atau kurang baik, maka perlu dilakukan analisis kualitas tes.
Analisis kualitas tes berkaitan dengan pertanyaan apakah tes sebagai suatu alat ukur benar-benar mengukur apa yang hendak dan seharusnya diukur? Sampai mana tes tersebut dapat diandalkan dan berguna? Kedua pertanyaan ini sebenarnya menunjuk pada dua hal pokok, yaitu validitas dan reliabilitas. Kedua hal ini sekaligus merupakan karakteristik alat ukur yang baik. Para ahli banyak mengemukakan tentang karakteristik tersebut. R.L. Thorndike, dan H.P. Hagen (1977) mengemukakan, "there are many specific considerations entering into the evaluation of a test,but we shall consider them... under three main headings. These are, respectively,validity, reliability, and practicality" Ternyata pendapat ini jauh lebih luas dari apa yang dikemukakan diatas. Namun, dalam kesempatan ini hanya akan dibatasi pada tiga karakteristik saja, yaitu validitas, reliabilitas, dan kepraktisan. Dalam praktik evaluasi di sekolah, sering kali guru acuh tak acuh dengan kualitas suatu tes. Artinya, apakah suatu tes termasuk baik atau tidak, guru tidak mau tahu, yang penting bagi guru adalah tersedianya perangkat tes untuk melaksanakan penilaian. Ada guru yang mengambil soal dari buku-buku pelajaran atau dari kumpulan soal. Padahal, soal-soal tersebut belum diketahui tingkat kebaikannya.
A. VALIDITAS
Sebelum guru menggunakan suatu tes, hendaknya guru mengukur terlebih dahulu derajat validitasnya berdasarkan kriteria tertentu. Dengan kata lain, untuk melihat apakah tes tersebut valid (sahih), kita harus membandingkan skor peserta didik yang didapat dalam tes dengan skor yang dianggap sebagai nilai baku. Misalnya, nilai ujian akhir semester peserta didik dalam salah satu mata pelajaran dibandingkan dengan nilai ujian akhir semester pada mata pelajaran yang lain. Makin mendekati kedua skor tersebut, maka semakin soal ujian akhir tadi dapat dikatakan valid. Validitas suatu tes erat kaitannya dengan tujuan penggunaan tes tersebut. Namun, tidak ada validitas yang berlaku secara umum. Artinya, jika suatu tes dapat memberikan informasi yang sesuai dan dapat digunakan untuk mencapai tujuan tertentu, maka tes itu valid untuk tujuan tersebut.
Ada dua unsur penting dalam validitas ini. Pertama, validitas menunjukkan suatu derajat, ada yang sempurna, ada yang sedang, dan ada pula yang rendah. Kedua, validitas selalu dihubungkan dengan suatu putusan atau tujuan yang spesifik. Sebagaimana pendapat R.L. Thorndike dan H.P. Hagen (1977) bahwa "validity is always in relation to a specific decision or use". Sementara itu, Gronlund (1985) mengemukan ada tiga faktor yang memengaruhi validitas hasil tes, yaitu "faktor instrumen evaluasi, faktor administrasi evaluasi dan penskoran, dan faktor dari jawaban peserta didik".
1. Faktor instrumen evaluasi
Jika instrumen evaluasi kurang baik, maka dapat berakibat hasil evaluasi menjadi kurang baik. Untuk itu, dalam mengembangkan instrumen evaluasi, seorang evaluator harus memperhatikan hal-hal yang memengaruhi validitas instrumen dan berkaitan dengan prosedur penyusunan instrumen, seperti silabus, kisi-kisi soal, petunjuk mengerjakan soal dan pengisian lembar jawaban, kunci jawaban, penggunaan kalimat efektif, bentuk alternatif jawaban, tingkat kesukaran, daya pembeda, dan sebagainya.
2. Faktor administrasi evaluasi dan penskoran
Dalam administrasi evaluasi dan penskoran, banyak sekali terjadi penyimpangan atau kekeliruan, seperti alokasi waktu untuk pengerjaan soal yang tidak proporsional, memberikan bantuan kepada peserta didik dengan berbagai cara, peserta didik saling menyontek ketika ujian, kesalahan penskoran,termasuk kondisi fisik dan psikis peserta didik yang kurang menguntungkan.
3. Faktor jawaban dari peserta didik
Dalam praktiknya, faktor jawaban peserta didik justru lebih banyak berpengaruh dari pada dua faktor sebelumnya. Faktor ini meliputi kecenderungan peserta didik untuk menjawab secara cepat, tetapi tidak tepat, keinginan melakukan coba-coba, dan penggunaan gaya bahasa tertentu dalam menjawab soal bentuk uraian.
Selanjutnya, Kerlinger (1986) mengemukakan, "validitas instrumen tidak cukup ditentukan oleh derajat ketepatan instrumen untuk mengukur apa yang seharusnya diukur, tetapi perlu juga dilihat dari tiga kriteria yang lain, yaitu appropriatness, meaningfullness, dan usefullness." Appropriatness menunjukkan kelayakan dari tes sebagai suatu instrumen. yaitu seberapa jauh instrumen dapat menjangkau keragaman aspek perilaku peserta didik. Meaningfullness menunjukkan kemampuan instrumen dalam memberikan keseimbangan soal-soal pengukurannva berdasar tingkat kepentingan dari setiap fenomena. Usefullness to infer¬ences menunjukkan sensitif tidaknya instrumen dalam menangkap fenomena perilaku dan tingkat ketelitian yang ditunjukkan dalam membuat kesimpulan.
Dalam literatur modern tentang evaluasi, banyak dikemukakan tentang jenis-jenis validitas, antara lain validitas permukaan (face valid¬ity), validitas isi (content validity), validitas empiris (empirical validity), dan validitas konstruk (construct validity), dan validitas faktor (factorial validity).
1. Validitas permukaan
Validitas ini menggunakan kriteria yang sangat sederhana, karena hanya melihat dari sisi muka atau tampang dari instrumen itu sendiri. Artinya jika suatu tes secara sepintas telah dianggap baik untuk mengungkap fenomena yang akan diukur, maka tes tersebut sudah dapat dikatakan memenuhi syarat validitas permukaan, sehingga tidak perlu lagi adanya judgement yang mendalam.
2. Validitas Isi
Validitas isi sering digunakan dalam penilaian hasil belajar. Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui sejauh mana peserta didik menguasai materi pelajaran yang telah disampaikan, dan perubahan-¬perubahan psikologis apa yang timbul pada diri peserta didik tersebut setelah mengalami proses pembelajaran tertentu. Jika dilihat dari segi kegunaannya dalam penilaian hasil belajar, validitas isi ini sering disebut juga validitas kurikuler dan validitas perumusan.
Validitas kurikuler berkenaan dengan pertanyaan apakah materi relevan dengan kurikulum yang sudah ditentukan. Pertanyaan ini karena sering terjadi materi tes tidak mencakup keseluruhan aspek yang akan diukur, baik aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik, tetapi hanya pengetahuan yang bersifat fakta-fakta pelajaran tertentu. Diharapkan dengan validitas kurikuler ini timbal ketelitian yang jelas dan totalitas dengan menjelajahi semua aspek yang tercakup dalam kisi-kisi dan Rencana Pelak-sanaan Pembelajaran (RPP) yang bersangkutan. Validitas kurikuler ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain mencocokkan materi tes dengan silabus dan kisi-kisi, melakukan diskusi dengan sesama pendidik, atau mencermati kembali substansi dari konsep yang akan diukur.
Validitas perumusan berkenaan dengan pertanyaan apakah aspek-¬aspek dalam soal-soal itu betul-betul tercakup dalam perumusan tentang apa yang hendak diukur. Disamping itu, validitas isi dapat juga disebut validitas rasional atau validitas logis. Sebagaimana dikemukakan oleh R.L. Thorndike dan H.P. Hagen (1977) bahwa "scientific analysis is essen¬tially a rational and judgmental one, this is sometimes spoken of as rational or logical validity". Pernyataan ini memang ada benarnya, karena pengujian validitas harus dilakukan secara rasional dan logis sehingga suatu tes basil belajar dapat memiliki validitas yang sempurna.
3. Validitas empiris
Validitas ini biasanya menggunakan teknik statistik, yaitu analisis korelasi. Hal ini disebabkan validitas empiris mencari hubungan antara skor tes dengan suatu kriteria tertentu yang merupakan suatu tolok ukur di luar tes yang bersangkutan. Namun, kriteria itu harus relevan dengan apa yang akan diukur. Validitas empiris disebut juga validitas yang dihubungkan dengan kriteria (criterion-related validity) atau validitas statistik (statistical validity). Ada tiga macam validitas empiris, yaitu:
a. Validitas prediktif (predictive validity)
b. Validitas kongkuren (concurrent validity)
c. Validitas sejenis (congruent validity)
Validitas prediktif adalah jika kriteria standar yang digunakan adalah untuk meramalkan prestasi belajar murid masa yang akan datang. Dengan kata lain, validitas prediktif bermaksud melihat hingga mana suatu tes dapat memprakirakan perilaku peserta didik pada masa yang akan datang, sedangkan validitas konkuren adalah jika kriteria standarnya berlainan. Misalnya, skor tes dalam matapelajaran Bahasa In¬donesia dikorelasikan dengan skor tes Bahasa Inggris. Sebaliknya, jika kriteria standarnya sejenis, maka validitas tersebut disebut validitas sejenis. Misalnya, Bahasa Indonesia dengan Bahasa Indonesia.
Dalam mengukur validitas suatu tes hendaknya yang menjadi kriteria sudah betul-betul valid sehingga dapat diandaikan keampuhannya dan dapat dianggap sebagai tes standar. Sebaliknya, bila kriterianya tidak valid, maka tes-tes lain yang akan divalidasi menjadi kurang atau tidak meyakinkan. Suatu tes akan mempunyai koefisien validitas yang tinggi jika tes itu betul-betul dapat mengukur apa yang hendak diukur dari peserta didik tertentu.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menginterpretasikan koefisien validitas, antara lain data mengenai karakteritik sampel validitas, prosedur-prosedur dalam pengukuran validitas, dan pola kriteria khusus yang dikorelasikan dengan hasil tes itu. Sehubungan dengan kriteria khusus, Anastasi dalam Conny Semiawan Stamboel (1986). mengemukakan ada delapan kriteria sebagai bahan bandingan untuk merumuskan apa yang hendak diselidiki oleh suatu tes, yaitu "diferensiasi umur, kemajuan akademis, kriteria dalam pelaksanaan latihan khusus kriteria dalam pelaksanaan kerja, penilaian, kelompok yang dipertentangkan, korelasi dengan tes lain, dan konsistensi internal".
a. Diferensiasi umur
Kriteria yang paling utama dalam validitas tes inteligensi adalah umur. Kebanyakan tes inteligensi, baik yang dipakai di sekolah maupun tes pra-sekolah, senantiasa dibandingkan dengan umur" kronologis untuk menentukan apakah angka bertambah dengan bertambahnya umur. Jika suatu tes dianggap valid, maka nilai tes bagi peserta didik akan naik dengan bertambahnya umur. Namun. anggapan ini tidak berlaku bagi perkembangan semua fungsi dalam hubungannya dengan bertambahnya umur secara konsisten (ini terbukti dari beberapa tes kepribadian). Suatu hal yang juga perlu dicermati adalah corak kondisi lingkungan tempat tes itu dibakukan. Kriteria peningkatan umur tidak bersifat universal, tetapi tidak dapat juga dikatakan bahwa ini berlaku bagi corak masing-masing kebudayaan.
b. Kemajuan akademis
Pada umumnya tes inteligensi divalidkan dengan kemajuan akademis. Juga sering dikatakan bahwa makin lama seseorang ¬belajar di sekolah, makin tinggi pendidikannya, makin tinggi pu1a kemajuan akademisnya. Padahal, setiap jenis dan jenjang pendidikan itu bersifat selektif. Bagi peserta didik yang tak sanggup meneruskan, biasanya termasuk dropout. Namun, banyak pula faktor non-intelektual yang ikut memengaruhi keberhasilan pendidikan seorang peserta didik. Dengan kata lain, berhasil tidaknya pendidikan seseorang tidak hanya dilihat dari faktor intelektual, tetapi juga faktor non intelektual. Untuk memperoleh gambaran yang komprehensif dan holistik tentang hal ini perlu diadakan penyelidikan yang lebih jauh.
c. Kriteria dalam pelaksanaan latihan khusus
Corak kriteria dalam pengembangan tes bakat khusus didasarkan atas prestasi dalam latihan tertentu secara khusus. Beberapa tes bakat profesi (profesional aptitude test) telah divalidkan dengan tes hasil belajar dalam bidang-bidang tersebut. Misalnya, tes untuk memasuki profesi kedokteran, hukum, dan sebagainya. Ada beberapa tes untuk memasuki profesi tertentu yang disebut tailor-made test, yaitu tes yang telah dibuat khusus untuk keperluan tersebut, seperti tes penerbangan.
d. Kriteria dalam pelaksanaan kerja
Dalam validitas tes kepribadian dan validitas tes bakat khusus banyak digunakan kriteria yang didasarkan atas kinerja dalam pelaksanaan kerja (on the job performance). Mengingat setiap pekerjaan memiliki kekhasan sendiri dan berbeda-beda tingkat, bentuk, maupun coraknya, maka untuk setiap pekerjaan diciptakan tes yang terkenal dengan istilah tailor-made test.
e. Penilaian
Pengertian penilaian di sini adalah teknik untuk memperoleh informasi tentang kemajuan belajar peserta didik di sekolah. Selain itu, juga mencakup pekerjaan yang memerlukan latihan khusus ataupun sukses dalam penilaian pribadi oleh seorang pengamat terhadap berbagai fungsi psikologis. Misalnya, kondisi-kondisi, orisinalitas, kepemimpinan, atau kejujuran. Jika kondisi-kondisi pengenalan dalam situasi tempat kemampuan yang khusus itu dinyatakan, maka perlu disertai skala penilaian yang dipersiapkan secara teliti.
f. Kelompok yang dipertentangkan
Konsep validitas melalui kelompok yang dipertentangkan menyelidiki pengaruh kehidupan sehari-hari yang tak disengaja. Kriteria ini didasarkan atas kelebihan suatu kelompok tertentu dihadapkan pada kelompok yang lain dalam mejalankan suatu tes tertentu. Misalnya, suatu tes bakat musik dicobakan di sekolah musik maupun di sekolah umum. Kriteria itu didasarkan atas faktor yang mencolok, yang diperoleh dari hasil nilai kedua kelompok tersebut dalam menjalankan tes itu.
g. Korelasi dengan tes lain
Korelasi antara tes baru dengan tes lama merupakan perbandingan kriteria dalam menyelidiki perilaku yang sama. Dalam hal ini suatu tes verbal tertulis bisa dibandingkan dengan tes individual atau tes kelompok. Untuk mengukur apakah suatu tes yang baru memiliki validitas dan bebas dari pengaruh faktor lain, maka dipergunakan tes jenis lain dalam membandingkannya. Jadi, kadang-kadang tes kepribadian dikorelasikan dengan tes internal atau tes prestasi belajar.
h. Konsistensi internal
Kriteria konsistensi internal adalah skor total yang diperoleh peserta didik dalam suatu tes. Kriteria ini terutama digunakan dalam bidang tes kepribadian. Kadang-kadang untuk keperluan ini juga digunakan percobaan tes dengan dua kelompok, yaitu antara kelompok berhasil dan kelompok kurang berhasil. Skor setiap soal tes dari kelompok yang berhasil dibandingkan dengan skor setiap soal tes dari
kelompok yang kurang berhasil. Soal-soal yang gagal menunjukkan perbedaan antara kelompok yang berhasil dengan kelompok kurang berhasil harus diperbaiki, atau dibuang. Kriteria konsistensi internal ini menghasilkan indeks homoginitas soal, tetapi tidak dapat dianggap sepenuhnya sebagai pengganti validitas.
Subscribe to:
Posts (Atom)